Meneladani didikan para ayah dalam Al-Qur’an

Di balik setiap anak yang beriman dan berakhlak, ada sosok ayah yang menanamkan nilai sejak dini. Menjadi ayah bukan hanya tentang memberi nafkah, tapi juga tentang mewariskan nilai. Dalam setiap nasihat, doa, dan teladan seorang ayah, ada jejak kasih yang membentuk masa depan anak-anaknya. Setiap anak tumbuh membawa jejak tangan ayahnya, cara berpikirnya, caranya menghadapi hidup, bahkan caranya berdoa. Peran ayah seringkali terlupakan dalam narasi pendidikan keluarga, padahal Al-Qur’an menampilkan begitu banyak figur ayah yang berhasil membentuk generasi beriman. Melalui kisah Nabi Ibrahim, Luqman al-Hakim, Al-Qur’an mengajarkan bahwa pendidikan ayah bukan sekadar tanggung jawab duniawi, melainkan amanah spiritual.[1]

Didikan sejati tidak selalu hadir lewat perintah, tapi lewat teladan yang hidup. Inilah yang tampak dalam kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Nabi Ibrahim adalah nabi keenam  dalam rangkaian dua puluh lima Nabi dan Rasul yang wajib diketahui oleh umat Islam. Beliau  digelar sebagai Bapak para nabi karena banyak sekali nabi merupakan anak cucunya. Nabi Ibrahim termasuk dalam jajaran ulul azmi, golongan Nabi dan Rasul yang memiliki kedudukan khusus karena kesabaran serta ketabahannya yang luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid. Salah satu potret paling kuat tentang pendidikan ayah dalam Al-Qur’an tergambar dalam kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Kisah ini menunjukkan bahwa keteladanan dan komunikasi spiritual jauh lebih mendidik daripada sekadar perintah. Allah mengabadikan dialog penuh makna antara keduanya dalam firman-Nya:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ

مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya: Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Ia (Ismail) menjawab, Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffāt [37]: 102)

Baca Juga  Peran wanita dalam perspektif Al – Qur’an, Al-Qur’an memberikan pandangan yang jauh lebih luas dan mendalam mengenai peran wanita.

Ibrahim tidak langsung memerintah, tapi mengajak Ismail berdiskusi tentang perintah Allah. Beliau membangun komunikasi dua arah yaitu menghargai pandangan anak, sekaligus mengajaknya memahami kehendak Allah. Pendidikan bukan hanya “mengajar,” tapi “mengajak tumbuh dalam iman. Ibrahim maupun Ismail sama-sama menunjukkan keikhlasan yang luar biasa, kepasrahan kepada Allah bahkan dalam hal yang paling berat yaitu pengorbanan diri dan kasih.

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

Artinya: “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk disembelih).” (QS. As-Saffāt [37]: 103)

Ujian itu berakhir dengan kasih sayang Allah Ismail diganti dengan sembelihan besar, dan keduanya diberi pujian oleh Allah.

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ, إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ

Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Saffāt [37]: 106–107)

Dari kisah ini, kita belajar bahwa pendidikan ayah dalam Al-Qur’an tidak hanya tentang disiplin, tapi tentang menumbuhkan iman melalui keteladanan, komunikasi, dan keikhlasan. Ibrahim mengajarkan Ismail bukan untuk tunduk kepadanya, tapi untuk tunduk kepada Allah dan di sanalah letak hakikat pendidikan tauhid dalam keluarga.[2]

Setelah keteladanan Ibrahim dan Ismail mengajarkan tentang ketaatan dan kepasrahan, Al-Qur’an memperkenalkan sosok ayah lain yang mendidik dengan kelembutan dan kebijaksanaan yaitu Luqman al-Hakim. Melalui nasihatnya, kita belajar bahwa pendidikan seorang ayah tidak hanya menuntun anak untuk beriman, tapi juga berakhlak dan sadar akan kehidupan.

Allah menggambarkan Luqman sebagai hamba yang diberi hikmah. Ia menggunakan karunia itu untuk mendidik anaknya dengan penuh kasih. Ia memulai dengan menanamkan tauhid, seraya berkata:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqmān [31]: 13)

Setelah menanamkan dasar iman, Luqman mengajarkan adab terhadap orang tua, kesadaran akan pengawasan Allah, dan tanggung jawab moral, bahkan untuk perbuatan sekecil apa pun.

Baca Juga  Menjemput Rezeki Yang Berkah Menurut Al – Qur’an

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ ۖ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Ku kembalimu.”(15) “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau taati keduanya, tetapi pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(16) “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu, atau di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sungguh, Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Luqmān [31]: 14–16)

Ia kemudian menuntun anaknya untuk menegakkan salat, berbuat baik, bersabar atas ujian, sertamenjauhi kesombongan dan sikap angkuh. Ayat-ayat ini menutup rangkaian nasihat Luqman kepada anaknya, berisi ajaran tentang ibadah (shalat), amar ma’ruf nahi munkar, kesabaran, kerendahan hati, dan adab dalam bersikap. Sebuah contoh utuh tentang pendidikan karakter yang seimbang antara iman, akhlak, dan etika sosial.

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Baca Juga  Ayat-Ayat Perang dalam Al-Qur'an: Konteks atau Kekerasan?

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Artinya: “Wahai anakku! Laksanakanlah shalat, suruhlah (manusia) berbuat yang makruf, dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar, serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.”(18) “Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”(19) “Dan sederhanalah engkau dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sungguh, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Dari Luqman, kita belajar bahwa nasihat yang lahir dari hati akan sampai ke hati. Sapaan “wahai anakku” adalah bukti bahwa kedekatan emosional menjadi pintu masuk bagi setiap pelajaran spiritual. Inilah pelajaran besar bagi setiap ayah  bahwa pendidikan bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tapi bagaimana hati menyampaikannya.[3]

Dari kisah Nabi Ibrahim dan Luqman, kita belajar bahwa peran ayah dalam Al-Qur’an bukan sekadar pemimpin keluarga, tetapi pendidik ruhani. Ibrahim meneladankan ketaatan yang lahir dari keikhlasan, sementara Luqman mengajarkan hikmah dan kasih dalam mendidik anaknya.
Keduanya menunjukkan bahwa pendidikan sejati berawal dari hati dari keteladanan, kelembutan, dan komunikasi yang dilandasi iman. Didikan para ayah dalam Al-Qur’an bukan hanya membentuk anak yang taat kepada orang tua, tapi anak yang mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Allah.

 

 

 

 

 

 

 

[1] Muna Erawati, “Model Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan,” Mudarrisa: Jurnal Kajian Pendidikan Islam Vol. 1, No. 1 (2009), UIN Salatiga, hlm.2

[2] Saiful Falah, “Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga pada Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail”, Jurnal Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 1 (April 2020), hlm. 137

[3] Fika Fitrotin Karomah dan Ali Rahmat, “Model Pendidikan Karakter dalam Kisah Luqman al-Hakim,” Kariman: Jurnal Pendidikan dan Keislaman, Vol. 10, No. 1 (2022): STAI Miftahul Ulum Sumenep & Institut Kariman Wirayudha Sumenep.

Share this post
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Pinterest
Komentar