Keteguhan dan Kesyahidan: Perjalanan Akhir Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi

 

 

Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia  berasal dari suku Kurdi, yang hidup da­lam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad. Bersama ayahnya, Syaikh Mulla Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al-Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun.

 

Seorang ulama besar yang dikenal luas di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Ulama’ berkelahiran Kurdistan, Turki ini sejak kecil menimba ilmu di Damaskus di bawah bimbingan ayahnya, Syaikh Mulla Ramadhan. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya.Pendidikan sang ayah sangat mem­be­kas dalam sisi kehidupan intelektual­nya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bu­kan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mulla juga sosok ayah yang pe­nuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.

 

Pendidikan formalnya dilanjutkan di Universitas Al-Azhar, Mesir, tempat beliau menyelesaikan disertasi yang kemudian menjadi buku terkenal berjudul Dlawabit al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah. Karya lainnya yang sangat berpengaruh adalah Fiqh al-Sirah, yang menjadi rujukan penting dalam kajian sejarah dan hukum Islam.

 

Al-Buthi merupakan sosok ulama yang tidak grusa-grusu dalam mengambil keputusan terutama dengan hal yang menyangkut keutuhan negaranya, Suriah. Ia bahkan pernah dituduh menjadi antek rezim, bahkan dituduh sebagai syiah karena membela Bashar Al-Asad ketika para ulama lain berbondong-bondong ingin mengkudetanya. Syekh Al-Buthi juga memiliki pandangan politik yang agak berbeda dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Hal ini kemudian menjadi latar belakang ditulisnya sebuah kitab yang secara khusus membahas tentang jihad dalam Islam, yaitu Al-Jihad fil Islam; Kaifa Nafhamuhu? Wa Kaifa Numarisuhu? (Jihad dalam Islam; bagaimana kita memahami dan melaksanakannya).

Baca Juga  Kisah inspiratif santri dan kyai. Perjalanan mencari perintah sang guru, tentang kerendahan hati dan bagaimana jiwa menemukannya

Begitu pula ketika kritikan terhadap tradisi Mau­lid dan dzikir berjama’ah, misalnya, di­lon­tarkan para pengklaim “muslim se­jati”, Al-Buthi hadir menjawab kritikan itu. Tak tanggung-tanggung, dalil yang di­gunakan sama persis dengan dalil yang diambil para pengkritik itu. Tidak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini Dr. Buthi memang terlihat pro dengan pemerintah dan anti terhadap pemberontak. Beliau melakukan hal itu semata-mata karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Bukan karena membela Asad ataupun pro dengan syiah.

Pada tanggal 21 Maret 2013 Kamis malam Syaikh Al-Buthi wafat dalam serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris-ekstrem ketika sedang memberikan pengajian mingguan di Masjid  Jami’ Al-Iman Mazraa, Damaskus.

Dalam kejadian yang menelan banyak korban itu, cucu Dr. Buthi—demikian beliau akrab disapa, yang bernama Ahmad juga ikut menjadi korban pengeboman. Perihal kepergian Dr. Buthi ini, kurang lebih sekitar dua minggu sebelum kejadian tersebut, Habib Ali Al-Jufri ketika menelpon Dr. Buthi seakan sudah mendapat isyarat akan kewafatannya. Di akhir pembicaraan itu, Dr. Buthi berkata kepada Habib Ali: “Tidak akan tersisa umurku kecuali hanya beberapa hari lagi. Sungguh aku telah mencium bau surga di belakangnya. Maka jangan lupa untuk mendoakanku”

Terdapat kisah juga di balik meninggalnya Al Buthi, Sebagaimana yang telah diceritakan oleh cucu beliau Syekh Mahmud bin Taufik bin Sa’id bin Ramadhan al-Buthi beliau berkata,bahwasanya: Kebiasaaan beliau secara umum adalah menyedekahkan sesuatu yang melebihi kebutuhannya. Namun diakhir bulan sebelum beliau meninggal beliau memanggilku dan memberiku sejumlah pakaiannya yang tidak sedikit (kebanyakan bajunya) beliau berkata : “Ini yang lebih dariku, aku khawatir Allah menghisabku atas semua ini carilah para pelajar yang berhak, dan berikan ini kepada mereka.” Dan beliau memberikan semua harta yang beliau simpan, seminggu sebelum beliau mati syahid. Sore hari Kamis tanggal 21 Maret 2013 beliau menuju pengajiannya di masjid Al-Iman, seperti biasa setelah 20 menit pengajian berlangsung salah satu yang celaka masuk dan meledakkan dirinya sendiri di masjid setelah ledakan itu, sebab ledakan itu listrik terputus. Beberapa hadirin yang dibelakang maju untuk menenangkan beliau. Namun, yang mereka lihat hanya cahaya yang bersinar dari wajahnya. Ketika mereka hendak mengangkat beliau dari kursi pengajian beliau menolak, beliau justru turun kelantai menghadap ke Kiblat. Beliau bersujud, ruhnya keluar dalam keadaan beliau bersujud.Beliau (Al Buthi)  mendekap Al-Qur’an pada dadanya. Dalam kondisi seperti itu, saya menyadari sesuatu yang layak untuk direnungi sebuah kemuliaan yang tidak pernah terkumpul pada seorang pun sebelumnya. Allah telah memilihnya dengan kekuatan dan cita-cita yang tinggi. Di usia yang lebih dari 80 tahun, beliau masih berada di atas kursi dakwah tempat beliau mengajak manusia kepada Allah selama lebih dari 40 tahun. Akhir hidupnya adalah syahid, gugur di tangan kaum Khawarij, sebagaimana yang pernah dialami oleh Sayyidina Ali RA. Beliau wafat di mihrab, di salah satu rumah Allah sebagaimana Sayyidina Umar RA. Setelah menunaikan salat Maghrib dan sedang menanti masuknya waktu Isya pada malam Jumat dalam sebuah majlis yang disebutkan oleh Nabi dalam sabdanya:

Baca Juga  KISAH SAHABAT NABI UKASYAH

وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله، يتلون كتاب الله، ويتدارسونه بينهم، إلا نزلت عليهم السكينة، وغشيتهم الرحمة، وحفّتهم الملائكة، وذكرهم الله فيمن عنده.”

— رواه مسلم

Artinya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), membaca Kitab Allah dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun ketenangan kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” Dalam keadan memiliki wudhu dan Al-Qur’an berada dihadapannya dan seperti Sayyidina Utsman RA, darahnya mengalir pada mushaf, dan ketika beliau mati syahid beliau ketika itu sedang menjelaskan ayat 116 surah ali Imran, sebab tekanan ledakan tentu ketika terjadi ledakan beliau langsung mendekap mushaf sehingga mushaf terkena darah, darahnya mengenai firman Allah surah ali Imran ayat 39 :

فَنَادَتْهُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٌۭ يُصَلِّى فِى ٱلْمِحْرَابِ أَنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًۭا بِكَلِمَةٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَسَيِّدًۭا وَحَصُورًۭا وَنَبِيًّۭا مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

Artinya: Maka malaikat (Jibril) memanggilnya, ketika ia berdiri melakukan salat di mihrab (seraya) berkata: “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan kalimat dari Allah, menjadi panutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”

 

Kepergian Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi dunia Islam, tetapi juga meninggalkan warisan keilmuan, keteladanan, dan keberanian dalam menjaga prinsip. Ia adalah ulama yang teguh memegang kebenaran di tengah badai fitnah dan perpecahan. Syahidnya beliau di tempat mulia—di rumah Allah saat mengajarkan ilmu—menjadi penegasan akan kemuliaan hidup yang dijalani dan kematian yang Allah pilihkan untuknya. Semoga Allah menerima syahidnya, mengangkat derajatnya, dan menjadikannya teladan abadi bagi para penuntut ilmu dan pejuang kebenaran.

Baca Juga  kisah seorang raja dan cincinnya

 

 

 

 

 

Share this post
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Pinterest
Komentar

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment