Kisah Qarun  simbol “Flexing” dan Fomo duniawi

Di era media sosial, banyak orang berlomba menampilkan kesuksesan dari outfit mewah, liburan glamor, hingga pencapaian pribadi yang dikemas sempurna di layar. Fenomena flexing dan fomo seakan menjadi bagian dari gaya hidup modern, takut terlihat kalah, khawatir tak dianggap sukses. Namun, jauh sebelum istilah itu lahir, Al-Qur’an telah menghadirkan kisah klasik tentang seorang manusia yang tenggelam dalam keangkuhan harta dan rasa ingin diakui yaitu Qarun. Kisahnya bukan sekedar sejarah, tetapi cermin bagi zaman kita, bagaimana kekayaan dan citra bisa membuat seseorang kehilangan arah, ketika harta tak lagi menjadi amanah, melainkan alat untuk pamer.

Fenomena ini dikenal sebagai flexing, flexing merupakan sikap memamerkan suatu hal yang memiliki tujuan untuk memberikan kesan mewah agar memperoleh pengakuan atas keberadaannya. Hal ini dilakukan untuk eksistensi diri agar dapat memperoleh (self esteem) harga  diri yang tinggi. Flexing dalam kamus Meriam Webster memiliki arti memperlihatkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok. [1]

Di sisi lain muncul fomo (Fear of Missing Out), fomo merupakan fenomena sosial berupa ketakutan akan ketertinggalan terhadap momen yang terjadi disekitar individu tersebut baik informasi, tren, acara, atau kesempatan yang sedang dialami orang lain. Fomo memiliki berbagai dampak negatif salah satunya kecanduan media sosial yang dapat menyebabkan gangguan tidur, ketidak stabilan emosi dan kesulitan focus, cemas, stres, rendah diri, bahkan depresi.[2]

Dalam Al-Qur’an, kisah Qarun menjadi salah satu cermin paling kuat tentang manusia yang diperdaya oleh hartanya sendiri. Qarun dikenal sebagai sosok yang kaya raya di zaman Nabi Musa. Pada awalnya, Qarun dikenal sebagai seorang yang taat dan berilmu. Namun seiring waktu, kesombongan dan cinta dunia menguasai hatinya. Kekayaan itu justru membuatnya sombong dan merasa paling hebat di antara kaumnya. Qarun bukan hanya kaya, tapi juga gemar memamerkan hartanya seperti orang-orang masa kini yang suka flexing di media sosial. Ia ingin diakui, dikagumi, dan merasa tidak mau “ketinggalan”. Orang-orang yang lemah imannya pun ikut terpesona dan berharap bisa seperti dia. Inilah bentuk FOMO (Fear of Missing Out) di masa itu rasa takut tertinggal dalam kenikmatan dunia, iri terhadap pencapaian orang lain, dan mengukur kebahagiaan dari harta. Kesombongan Qarun akhirnya berbuah kebinasaan. Allah menenggelamkannya beserta rumah dan seluruh kekayaannya ke dalam bumi.

Baca Juga  Prespektif Al-Qur'an Tentang Keadilan dalam Transaksi Jual Beli

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ ۖ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنتَصِرِينَ

Artinya: “Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya selain Allah, dan ia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.”  (QS. Al-Qashash [28]: 81]

Qarun tenggelam bersama hartanya sebagai pelajaran bahwa kesombongan dan obsesi akan pengakuan dunia hanya membawa kehancuran.

Qarun bukan hanya tenggelam dalam kesombongan, tetapi juga terjebak dalam israf yaitu sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan dan menampilkan harta. Padahal, Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا • إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya: “Dan berikanlah hak kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan (harta) itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Ayat ini menegaskan tiga nilai utama dalam penggunaan harta yaitu Tanggung jawab sosial, harta bukan milik pribadi semata, ada hak orang lain, keluarga, fakir miskin, dan musafir yang membutuhkan. Larangan tabdzir (pemborosan), Allah melarang menghamburkan harta tanpa manfaat, baik untuk kesombongan, pamer kekayaan (flexing), atau sekadar mengikuti hawa nafsu konsumtif. Konsekuensi moral, orang yang boros disamakan dengan saudara setan bukan karena bentuknya, tetapi karena sikapnya yang meniru setan, tidak bersyukur dan menggunakan nikmat Allah untuk kesia-siaan. Dunia modern sering menormalisasi israf, hidup berlebih, membeli di luar kebutuhan, dan mengukur nilai diri dari kepemilikan. Padahal Islam justru menuntun pada keseimbangan

Baca Juga  Ekologi dalam Al-Qur'an: Apakah Islam Mengajarkan Aktivisme Lingkungan?

Di balik kisah Qarun yang tenggelam dalam kesombongan, Islam menghadirkan nilai-nilai yang menenangkan hati.

  1. Qana’ah, qana‘ah adalah sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki, baik sedikit maupun banyak, disertai hati yang tenang dan tidak tamak terhadap milik orang lain. Dalam Islam, qana‘ah bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima hasil dengan ridha setelah berikhtiar sebaik mungkin. Orang yang qana‘ah tetap bekerja keras, tetapi tidak diperbudak oleh keinginan untuk terus menambah harta atau status. Rasulullah SAW bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Artinya: “Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup (qana‘ah) dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR.Muslim)

  1. Tawadhu atau rendah hati, yaitu sikap seseorang yang tidak sombong, tidak merasa lebih baik dari orang lain, dan mau menghargai siapa pun tanpa memandang status, harta, atau kedudukan. Dalam Islam, tawadhu bukan berarti merendahkan diri secara berlebihan, tapi menempatkan diri dengan adab dan kesadaran bahwa semua kelebihan berasal dari Allah, bukan dari usaha pribadi semata. Sifat ini menjadi cermin dari hati yang bersih dan jauh dari kesombongan berbeda dengan Qarun yang angkuh. Sikap tawadhu‘ sebagai bentuk kerendahan hati juga ditegaskan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam surah Al-Furqan ayat 63, Allah menggambarkan ciri hamba-hamba-Nya yang dicintai sebagai berikut:

وَعِبَادُ الرَّحْمَـٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan Salam.”

  1. Syukur dan amanah terhadap harta, Syukur berarti menyadari bahwa setiap nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya dengan cara yang diridhai-Nya. Orang yang bersyukur memahami bahwa harta hanyalah titipan, bukan sumber kebanggaan. Sedangkan, Amanah terhadap harta berarti menggunakan kekayaan sesuai dengan tanggung jawab yang Allah tetapkan. Harta bukan milik mutlak manusia, melainkan ujian apakah digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Bersikap amanah berarti tidak menyalahgunakan rezeki untuk kesombongan, kedzaliman, atau gaya hidup berlebihan. [3]
Baca Juga  Negara Ideal dalam Perspektif Al-Qur'an: Menggapai Baldatun Thayyibatun

Qarun mungkin telah lama tiada, tetapi semangatnya masih hidup dalam budaya digital yang penuh flexing dan fomo. Bedanya, jika dulu harta ditimbun di peti emas, kini ia dipamerkan lewat layar ponsel. Padahal, seperti Qarun, siapa pun yang menjadikan harta dan validasi sebagai pusat hidupnya akan kehilangan arah. Islam menawarkan jalan keluar yang menentramkan  dengan qana‘ah, tawadhu, dan syukur sebagai penuntun agar manusia tak tenggelam dalam ilusi dunia yang fana.

 

 

 

 

 

 

 

[1]  Wida Utami dan Agung Abdullah, “Flexing dalam Pandangan Islamic Behavioral Finance,” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 9, No. 3 (2023): 3502–3510

[2] Ferly Putri Lianto, Aditya Nirwana, dan Sultan Arif Rahmadianto, “Perancangan Motion Graphic FoMO Tidak 100 Persen Salah Kalian bagi Anak Muda di Indonesia,” Sainsbertek: Jurnal Ilmiah Sains & Teknologi, Vol. 3, No. 1 (September 2022).

[3] Purnama Rozak, “Indikator Tawadhu dalam Keseharian,” Jurnal Madaniyah. Vol. 1, Ed. XII (Januari 2017), Destiyanti Putri dkk. “Pengembangan E-Book Siap (Syukur, Ikhlas, Amanah, Pemaaf) Dalam Penanaman Pendidikan Akhlak Di SDN Ketib Sumedang Utara,” Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 16, No. 5 (2022),

 

Share this post
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Pinterest
Komentar