Baitul Maqdis: Menelusuri nilai iman dan pengorbanan di tanah para Nabi

Di tengah lanskap kota tua yang sunyi, berdiri sebuah tanah yang menyimpan jejak para Nabi, Baitul Maqdis. Setiap sudutnya memantulkan sejarah panjang yang disaksikan tiga agama besar, menjadikannya bukan hanya tempat di peta, tetapi ruang yang hidup dalam hati jutaan manusia. Di sini, iman diuji, pengorbanan dikenang, dan harapan ditumbuhkan sejak ribuan tahun lalu. Bagi umat Islam, Baitul Maqdis bukan sekadar tujuan perjalanan, ia adalah simbol perjalanan batin. Dari sinilah Isra’ Mi‘raj dimulai, dari sinilah para Nabi menegakkan kalimat tauhid, dan di sinilah umat diajak menelusuri makna keberanian, keteguhan, serta cinta kepada Allah. Maka, membicarakan Baitul Maqdis berarti mengingat kembali akar spiritualitas yang meneguhkan kita hingga hari ini.

Baitul Maqdis yang berarti “Bait Suci”, terletak di jantung kota Yerussalem, dimana  tempat tersebut menyimpan begitu banyak sejarah dan sangat erat hubungannya dengan spiritualitas umat Muslim. Baitul Maqdis merupakan sebuah kompleks tanah yang suci, bersih dan diberkahi, dikarenakan menjadi tempat para nabi di utus dan bertempat tinggal di sana, dan pusat dari keberkahan dari Baitul Maqdis itu sendiri berada tepat di Masjid Al-Aqsha. Baitul Maqdis berada di pertengahan wilayah Palestina di atas bukit dengan tinggi sekitar 38 hingga 720 meter di atas permukaan laut. Baitul Maqdis tidak hanya sebatas sebagai simbol sejarah saja namun juga sebagai simbol Iman dan hubungan erat umat Muslim hingga akhir zaman. [1]

Tanah Syam jika dilihat dari perspektif sejarah, baik dari sejak Nabi Adam a.s hingga Nabi Muhammad Saw telah menjadi tanah yang diberkahi dan Allah Swt janjikan dalam Al-Qur’an. Salah satunya yakni Baitul Maqdis yang bertepatan di bumi Palestina. Begitu banyak peristiwa penting yang pernah terjadi di sana, hingga saat ini masih terjadi berbagai  permasalahan khususnya bagi umat Muslim sendiri, karena Baitul Maqdis juga menjadi tanah  suci yang harus dilindungi. Mengingat tanah ini menjadi tempat  terjadinya  berbagai  sejarah dan peristiwa penting sepanjang  sejarah para nabi terdahulu, hal ini tentu  meninggalkan berbagai konsep dan pemahaman yang salah dari umat manusia sepeninggalnya. Khususnya pada bani Israil yang melenceng dari ajaran tauhid Allah Swt hingga sampai di masa Nabi Muhammad Saw, kebenaran Islam telah Allah Swt sempurnakan tapi mereka tetap tidak mau menerima kebernaran tersebut. Tentu umat Muslim memahami bahwa Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama Rasulullah Saw dan para sahabat  selama 13 tahun di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Masjid  Al-Aqsha  sangatlah  Istimewa  bagi Rasulullah Saw dan para  sahabat, keistimewaannya  tidak hanya  dilihat  sebagai  kiblat pertama  saja  namun juga sebagai  tempat  suci  yang  memiliki  keutamaan[2], disebutkan dalam salah satu hadits yakni:

Baca Juga  Negara Ideal dalam Perspektif Al-Qur'an: Menggapai Baldatun Thayyibatun

عَنۡ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Artinya: “Janganlah  kalian bersusah  payah  melakukan  perjalanan  jauh,  kecuali  ke  tiga  masjid.  Yaitu  Masjidku  ini  Masjid  Nabawi  (di Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjid Al-Aqsha (di Baitul Maqdis).” (HR. Muslim).

Pada awal kemunculan Islam, Masjid Al-Aqsa yang terletak di Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi kiblat pertama bagi umat Islam dalam melaksanakan shalat. Perintah ini berlangsung selama sekitar 16-17 bulan setelah hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Pemilihan Baitul Maqdis sebagai kiblat pertama berkaitan dengan penghormatan terhadap sejarah para nabi terdahulu, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Dawud, yang terkait erat dengan kota ini, yang juga merupakan pusat keagamaan bagi Yahudi dan Kristen. Baitul Maqdis dianggap sebagai tempat suci oleh tiga agama samawi ini, dan arah kiblat tersebut menunjukkan bahwa Islam, meskipun merupakan agama yang baru, memiliki kaitan dengan tradisi agama-agama sebelumnya. Menurut beberapa riwayat, perintah menghadap ke Baitul Maqdis juga memiliki dimensi simbolis dalam upaya menciptakan kesatuan antara umat Islam dengan umat Yahudi pada masa itu. Namun, sekitar 17 bulan setelah hijrah (tahun kedua Hijriyah), Allah SWT menurunkan wahyu yang memerintahkan perubahan kiblat ke Ka’bah di Makkah. Hal ini tercatat dalam Surah Al-Baqarah (2:144), yang menyebutkan:

إِنَّا نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء ۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّـهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Kami melihat wajahmu (wahai Muhammad) menoleh ke langit, maka Kami palingkan kamu ke kiblat yang engkau sukai. Maka hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram (Ka’bah). Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani) pasti mengetahui bahwa perubahan kiblat itu adalah yang benar dari Tuhan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[3]

Baca Juga  Peran wanita dalam perspektif Al – Qur’an, Al-Qur’an memberikan pandangan yang jauh lebih luas dan mendalam mengenai peran wanita.

sejarah umat Islam mencatat sebuah peristiwa penting yang mengukuhkan posisi Yerusalem dalam dunia Islam. Pada tahun 637 M, Khalifah Umar bin Khattab memimpin pasukan Muslim dalam pembebasan Baitul Maqdis (Yerusalem) dari kekuasaan Kekaisaran Bizantium. Kota ini, yang merupakan tempat suci bagi Yahudi, Kristen, dan Islam, telah lama menjadi pusat konflik. Setelah pengepungan yang berlangsung beberapa bulan, pasukan Bizantium yang dipimpin oleh Kaisar Heraklius akhirnya menyerah tanpa perlawanan besar, dan Yerusalem diserahkan kepada pasukan Muslim. Salah satu aspek paling dihargai dari pembebasan ini adalah Perjanjian Umar, yang memberikan jaminan perlindungan bagi penduduk Kristen dan Yahudi di Yerusalem. Dalam perjanjian ini, mereka diberikan kebebasan beribadah dan hak untuk menjaga tempat ibadah mereka. Umar juga melakukan salat di Masjid Al-Aqsa, yang menjadi simbol penting dalam Islam setelah peristiwa Isra’ Mi’raj. Umar bin Khattab dikenal karena sikap toleransi dan adil yang ditunjukkan terhadap semua umat beragama. Kebijakannya memastikan bahwa Yerusalem tetap menjadi kota yang aman bagi keberagaman agama, sekaligus menjaga kehormatan dan kebebasan beragama bagi penduduknya. Pembebasan ini bukan hanya kemenangan politik, tetapi juga simbol keadilan sosial dan harmoni antar umat beragama yang menjadi warisan penting dalam sejarah Islam.[4]

Dari sejarah panjang Baitul Maqdis, terlihat jelas bahwa iman sejati selalu diuji. Para Nabi dan sahabatnya mengajarkan bahwa mempertahankan kebenaran, walau melalui pengorbanan besar, adalah bagian dari keteguhan hati dan ketaatan pada Allah. Dari sejarah panjang Baitul Maqdis, terlihat jelas bahwa iman sejati selalu diuji. Para Nabi dan sahabatnya mengajarkan bahwa mempertahankan kebenaran, walau melalui pengorbanan besar, adalah bagian dari keteguhan hati dan ketaatan pada Allah. Bagi umat Islam masa kini, Baitul Maqdis tetap menjadi sumber inspirasi. Nilai iman, kesabaran, dan pengorbanan yang tercermin di tanah suci ini mengajarkan bahwa setiap tantangan dalam hidup adalah kesempatan untuk menunjukkan keteguhan hati dan cinta pada kebenaran.

Baca Juga  Menjadikan masalah sebagai Peluang menurut Al-Quran

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Ensiklopedia  Dunia  Universitas  STEKOM, https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Masjidilaqsa, diakses pada tanggal 26 November 2025, pukul 10:09 WIB

[2] Abd al-Fattah El-Awais, Felix Y. Siauw, dan Tim Tahrir Al-Aqsha Indonesia

[3] Ahmad al-Hakim, Al-Aqsa and the Early Islamic Qibla, Islamic Historical Review 22, no. 1 (2019): 45-60.

[4] Khalid al-Azhari, “The Conquest of Jerusalem: A Study of Umar ibn al-Khattab’s Legacy,” Islamic History Review 12, no. 2 (2018): 134-145.

Share this post
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Pinterest
Komentar