Al-Qur’an dan Tradisi Pesantren: Mempertahankan Warisan Spiritual
Secara umum, Pesantren seringkali diidentifikasi sebagai lembaga pendidikan tradisional. Predikat “tradisional” ini melekat pada pesantren, disebabkan dua faktor: pertama, karena lembaga ini telah ada sejak ratusan tahun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari system kehidupan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Kedua, karena pada umumnya pesantren dikelola dan dikembangkan oleh kelompok Islam tradisional, yaitu masyarakat yang berbasis di pedesaan. Kelompok tradisional masih kental dengan tradisi dan adat setempat.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki peranan penting dalam masyarakat Indonesia. Sebagai tempat belajar bagi para santri, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga melestarikan tradisi dan warisan spiritual yang telah ada selama berabad-abad. Dalam konteks ini, tradisi pesantren menjadi salah satu pilar penting dalam mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan.[1]
Sejak berdirinya, pesantren telah menjadi pusat pendidikan Islam yang menyatukan pengajaran Al-Qur’an, hadist, serta ilmu-ilmu agama lainnya. Dari waktu ke waktu, pesantren telah beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi tetap menjaga esensi dan tujuan awalnya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual. Di dalam pesantren, Al-Qur’an memegang peranan penting sebagai sumber ajaran dan nilai-nilai spiritual. Melalui pendidikan di pesantren, generasi muda diajarkan untuk memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an, sehingga tradisi ini menjadi bagian integral dari warisan budaya dan spiritual bangsa.[2]
Salah satu tradisi yang sangat dihargai di pesantren adalah penghafalan Al-Qur’an (hifz). Banyak santri yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghafal dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Tradisi ini tidak hanya menghasilkan penghafal Al-Qur’an, tetapi juga menciptakan individu yang memiliki kedalaman spiritual dan pemahaman yang baik tentang ajaran Islam.
Santri yang berhasil menghafal Al-Qur’an sering kali menjadi panutan dalam masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an dan menjadi contoh dalam perilaku sehari-hari. Banyak penghafal Al-Qur’an yang juga aktif dalam kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial[3]
Bahkan santri yang menghafal Al-Qur’an biasanya memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam. Mereka berperan sebagai pengajar di pesantren, masjid, dan lembaga pendidikan lainnya, menyebarkan ilmu agama kepada generasi muda dan masyarakat luas. Selain sebagai penghafal Al-Qur’an, mereka juga menjadi contoh dalam perilaku dan akhlak. Mereka diharapkan dapat menunjukkan sifat-sifat mulia yang diajarkan dalam Al-Qur’an, seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang, sehingga dapat menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari.[4]
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۖ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Artinya:”Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman; dan Al-Qur’an itu tidak menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
[1] Iqbal L. M. (2023) Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP); (Pesantren Dan Pembaharuan: Arah Dan Implikasi) Vol. 7 No. 2 ,UIN Mataram
[2] Shihab, M. Q. (1997). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Perannya dalam Kehidupan. Lentera Hati.
[3] Madjid, N.(1994) Islam, Kemodernan, dan Pendidikan. Paramadina press
[4] Ibn Asad, R.(2010) Pendidikan Pesantren: Antara Tradisi dan Modernitas. UIN Sunan Kalijaga Press