Al-Qur’an dan Perempuan: Menafsirkan Keadilan Gender di Abad 21
Keadilan gender telah menjadi salah satu isu penting di abad ke-21, khususnya dalam kaitannya dengan hak-hak perempuan. Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an sering menjadi rujukan utama dalam membahas posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, interpretasi Al-Qur’an mengenai perempuan sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial, yang dapat menyebabkan dan ketidakadilan. Selain itu, Islam juga bersifat wasathiyah. Wasathiyah artinya pertengahan. Pertengahan di sini maksudnya adalah bahawa Islam selalu memperhatikan keadilan dan keseimbangan dalam setiap ajarannya. Hal itu menjadikan Islam sebagai agama yang memberikan solusi yang adil terhadap semua persoalan manusia. Tentunya, sifat ini mengokohkan keuniversalan Islam, dan bahawa Islam akan selalu sesuai untuk semua zaman dan tempat.[1]
Di era modern, isu keadilan gender mencakup lebih dari sekadar hak warisan atau peran keluarga. Perempuan Muslim menghadapi tantangan baru, termasuk akses ke pendidikan tinggi, kesetaraan di tempat kerja, dan partisipasi politik. Nilai-nilai Al-Qur’an tentang keadilan dapat menjadi landasan untuk memperjuangkan hak-hak ini.
Misalnya, QS. Al-Alaq:1-5 menekankan pentingnya pendidikan untuk semua, tanpa membedakan jenis kelamin. Ayat ini dapat digunakan sebagai argumen kuat untuk mendukung akses perempuan ke pendidikan setara. Selain itu, konsep musyawarah (syura) dalam Islam dapat diterapkan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di keluarga maupun di ranah publik.
Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yang menjadi pemikir, pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, realitas ini secara sepintas akan menjadi bukti kelemahan eksistensi kaum perempuan di antara kaum laki-laki. Asumsi ini sangat mempengaruhi kaum perempuan dalam sosialisasi citra mereka sebagai manusia yang menginginkan persamaan dalam kehidupan.[2]
Meskipun pada masa turunnya Al-Qur’an, perempuan sering kali diperlakukan tidak setara dengan laki-laki, Al-Qur’an memberikan penghargaan tinggi kepada perempuan dan mengakui peran serta kontribusinya dalam kehidupan sosial, spiritual, dan keluarga. Sebgaimana dalam firman Allah dalam QS. Al-hujurat:13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam menafsirkan keadilan gender di abad 21, penting untuk melihat Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks sejarah, tetapi sebagai pedoman hidup yang relevan dengan tantangan zaman. Sejak awal, Al-Qur’an telah memberikan penghargaan tinggi terhadap peran perempuan dalam masyarakat, baik dalam hal spiritualitas, sosial, maupun keluarga. Prinsip kesetaraan yang terkandung dalam Al-Qur’an, seperti yang tercantum dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13, menegaskan bahwa kedudukan di hadapan Allah tidak bergantung pada jenis kelamin, tetapi pada ketakwaan dan amal saleh. Oleh karena itu, menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan pendekatan yang kontekstual dan progresif memungkinkan umat Islam untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, dari pendidikan hingga partisipasi politik dan ekonomi.[3]
Namun, penerapan keadilan gender dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari tantangan, terutama terkait dengan interpretasi yang salah atau budaya patriarkal yang sering mengaburkan ajaran Al-Qur’an. Di abad 21, dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, tantangan ini semakin kompleks. Oleh karena itu, pemahaman yang inklusif dan berbasis pada prinsip keadilan dan kasih sayang yang terkandung dalam Al-Qur’an sangat diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara. Para ulama dan pemikir Muslim masa kini harus terus berupaya untuk menyesuaikan tafsiran mereka agar selaras dengan semangat kesetaraan gender yang diharapkan oleh Al-Qur’an, yang pada akhirnya dapat menginspirasi perubahan sosial yang lebih inklusif dan penuh keadilan bagi perempuan.[4]
[1] Muhamad Zainul A. (2023) KESETARAAN GENDER DALAM BINGKAI WASATHIYAH ISLAM DARI PERSPEKTIF Al-QUR’AN Jurnal Antarabangsa Kajian Islam Kontemporari Pusat Penyelidikan Mazhab Syafi’i Jil.3 Bil.1Institut Agama Islam Tasikmalaya.
[2] Ikhsan, Predi M. Pratama (2021) DASAR-DASAR AJARAN ISLAM, AL-QUR’AN DAN KESETARAAN GENDER Syntax Fusion:Jurnal Nasional Indonesia p–ISSN:-e-ISSN: 2775-4440 Vol. 1, No.7
[3] Mernissi, Fatima. (1991) The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Perseus Books.
[4] Barlas, Asma.(2002) Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.