Menjadi Manusia yang Berguna: Nilai Sosial dalam Al-Qur’an

Dalam Islam, kebermanfaatan seseorang tidak hanya diukur dari seberapa banyak ilmu yang dimiliki atau seberapa tinggi ibadah yang dilakukan, tetapi juga dari sejauh mana ia memberi kebaikan bagi orang lain. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam tidak hanya membahas tentang hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan antar sesama manusia. Menjadi manusia yang berguna adalah cerminan dari nilai-nilai sosial yang diajarkan dalam Al-Qur’an mulai dari sikap tolong-menolong, peduli terhadap sesama, hingga menjaga keadilan dan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Sumber  utama  ajaran  Islam  yaitu  Al-Quran, menerangkan  bahwa Allah Menciptakan manusia dengan tugas tugas mulia yang diembanya. Islam Menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan  manusia  berasal  dari tanah, kemudian menjadi  nutfah, alaqah, dan  mudgah  sehingga  akhirnya  menjadi makhluk Allah SWT yang paling sempurna dan memiliki berbagai kemampuan. Manusia adalah makhluk yang diberi akal, hati, dan kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya, ciptaan Allah yang paling sempurna, namun juga paling diuji, mahluk yang di bentuk dengan di bekali segala sesuatu yang lengkap yang tidak dimiliki oleh mahluk lainya, dengan bentuk lengkapnya manusia mampu melakukan tingkah laku yang tinggi pula, manusia sering di sebut sebagai mahluk yang sempurna karena ibnu maskawih yakni seorang ilmuan filsafat, sejarawan, dan ahli etika mengatakan bahwa manusia adalah struktur lengkap yang di bekali dengan semua persyaratan, persyaratan tersebut adalah manusia sebagai struktur yang memiliki jiwa raga dalam meberikan feedback kepada dunia dan sesama manusia. [1]

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah At-tin (95:4):

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Ayat ini menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan potensi yang terbaik baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual.

Nilai sosial dalam Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya kebermanfaatan individu dalam kehidupan bermasyarakat. Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang memuat ajaran ibadah dan spiritualitas semata, melainkan juga merupakan pedoman hidup yang komprehensif bagi umat manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Al-Qur’an mengatur tentang hubungan antar manusia  (hablum minal-nas), yang disebut dengan hubungan sosial (social relation) yaitu interaksi dan hubungan antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Relasi ini membentuk struktur sosial, memengaruhi perilaku, serta menciptakan pola kerja sama, konflik, dan komunikasi. [2]

Dalam konteks tersebut, Al-Qur’an menegaskan bahwa menjadi manusia yang berguna berarti aktif berperan dalam membangun dan memelihara hubungan sosial yang harmonis  yaitu selaras, seimbang, dan tidak bertentangan, baik dalam hubungan antarindividu maupun dalam suatu sistem atau lingkungan. Nilai-nilai seperti tolong-menolong,  keadilan, saling menghormati, dan saling memaafkan sangat ditekankan sebagai fondasi dalam interaksi sosial. Dengan menjalankan nilai-nilai ini, individu tidak hanya memperoleh keberkahan pribadi tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera. Oleh karena itu, menjadi manusia yang berguna dalam pandangan Al-Qur’an adalah mereka yang mampu menginternalisasi yaitu menjadikan sesuatu sebagai bagian dari diri sendiri, terutama dalam hal nilai, norma, pengetahuan, atau sikap, sehingga memengaruhi cara berpikir, merasa, dan bertindak seseorang secara konsisten. dan mengamalkan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari demi kebaikan bersama.[3]

Baca Juga  Menjadikan masalah sebagai Peluang menurut Al-Quran

Dengan demikian, proses internalisasi nilai-nilai sosial yang diajarkan dalam Al-Qur’an tidak berhenti pada tataran pengetahuan atau kesadaran semata, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Seperti : Menolong sesama tanpa memandang latar belakang, Bersikap adil dalam segala urusan, Menjaga amanah dan tanggung jawab, Bersikap santun dan menghargai orang lain, Bersedekah dan peduli pada fakir miskin, Memaafkan kesalahan orang lain.Internaliasi ini menjadi penting karena tanpa melekatnya nilai-nilai tersebut dalam diri individu, hubungan sosial yang harmonis akan sulit terwujud. Individu yang benar-benar menginternalisasi nilai tolong-menolong akan secara spontan membantu sesama tanpa pamrih, yang menghayati nilai keadilan akan berlaku adil meskipun dalam kondisi yang menuntut pengorbanan, dan yang menjunjung tinggi sikap saling memaafkan akan lebih mudah menghindari konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai tersebut menjadi kunci dalam membentuk karakter insan yang tidak hanya shaleh secara personal, tetapi juga berperan aktif sebagai agen perdamaian dan kebaikan di tengah masyarakat.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْاۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Artinya: Kebajikan itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat, tetapi kebajikan sejati adalah milik orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para nabi. Juga, mereka yang memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan mereka yang meminta-minta, serta untuk membebaskan hamba sahaya; yang mendirikan salat dan menunaikan zakat; yang menepati janji ketika berjanji; dan yang sabar dalam kesulitan, penderitaan, serta di saat peperangan. Merekalah orang-orang yang benar imannya, dan merekalah orang-orang yang bertakwa.

Baca Juga  Ayat-Ayat Perang dalam Al-Qur'an: Konteks atau Kekerasan?

Ayat ini menggambarkan bahwa keimanan sejati tidak hanya terletak pada aspek ritual, tetapi juga pada pengamalan nilai-nilai sosial dan moral.[4]

Orang-orang yang beriman itu menyenagkan.

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR.Bukhori dan muslim).

Hadits ini menjelaskan tentang salah satu ciri dari seorang Muslim sejati, yaitu ia tidak menyakiti orang lain, khususnya sesama Muslim, baik dengan ucapan (lisan) maupun dengan perbuatan (tangan). Lisan mencakup: berkata kasar, mencaci, memfitnah, mengadu domba, berbohong, dan perkataan menyakitkan lainnya, tangan mencakup: tindakan kekerasan fisik, mencuri, merusak, atau menyakiti dengan perbuatan apa pun. Orang yang baik yaitu jika mempunyai sesuatu bermanfaat bagi orang lain.[5]

Nabi  Muhammad SAW adalah  suri tauladan bagi umat manusia. Sehingga pastinya beliau memiliki intelejensi sosial yang tinggi. Al-Qur’an juga mengajarkan tentang intelejensi sosial yaitu dalam Al-Qur’an tercermin melalui ajaran-ajaran tentang empati yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, seolah-olah kita berada di posisi mereka. Empati bukan hanya sekadar merasa kasihan, tetapi juga mencakup kepekaan terhadap perasaan, pikiran, dan pengalaman orang lain, serta menunjukkan kepedulian yang tulus.Contoh empati adalah ketika seseorang sedang sedih, dan kita bukan hanya menyadarinya, tetapi juga mencoba memahami mengapa dia sedih dan memberikan dukungan atau penghiburan sesuai kebutuhannya., komunikasi yang baik, dan kemampuan memahami serta menghargai perbedaan antarindividu. Al-Qur’an mendorong umat manusia untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis.

Seperti dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.

Ayat ini menekankan bahwa perbedaan suku dan bangsa bertujuan agar manusia saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan. Selain itu, Al-Qur’an juga mengajarkan pentingnya menjaga lisan.

Seperti dalam Al-Qur’an surah Qaf:18:

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Artinya: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Ayat ini menganjurkan untuk berkata baik atau diam, yang merupakan bagian dari kecerdasan dalam berinteraksi sosial. Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan dasar spiritual dan moral bagi pengembangan intelejensi sosial yang sehat dan beretika dalam kehidupan bermasyarakat. [6]

Baca Juga  Keindahan sastra bahasa dalam ayat-ayat Al-Qur’an

Ada sebuah hadist yang menerangkan tentang konsep “menjadi manusia berguna” dalam Islam :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: Dari Jabir ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Hadis ini adalah salah satu landasan penting dalam Islam mengenai standar keutamaan atau kebaikan seorang manusia. Rasulullah SAW, sebagai teladan utama, menegaskan bahwa ukuran kebaikan seseorang bukanlah hanya dari seberapa banyak ibadah ritualnya (shalat, puasa, haji), tetapi juga dari seberapa besar dampak positif atau manfaat yang ia berikan kepada orang lain.

Dengan demikian, Menjadi manusia yang berguna, sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an dan diteladankan oleh Rasulullah SAW, bukan sekadar pilihan, melainkan panggilan suci yang melekat pada hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Inilah landasan utama bagi terwujudnya peradaban yang sejahtera, tidak hanya dari sisi spiritual, tetapi juga dalam tatanan sosial yang adil dan harmonis. Ketika setiap insan memahami serta menghayati nilai-nilai kebermanfaatan mulai dari keikhlasan dalam beribadah, keluhuran akhlak, penyebaran ilmu, hingga kontribusi nyata terhadap sesama dan alam semesta maka cita-cita besar untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengamalkan ajaran Islam secara utuh dengan menebarkan kasih sayang, keadilan, dan kebaikan kepada seluruh makhluk tanpa membedakan latar belakang, akan menjadi nyata. Dari sanalah akan tumbuh kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh umat manusia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Heru Juabdin Sada, “Manusia dalam Perspektif Agama Islam,” Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 7, Mei 2016, hlm. 4

[2] Muhammad Amin, “Relasi Sosial dalam Al-Qur’an,” QiST: Journal of Quran and Tafseer Studies, Vol. 1, hlm.23

[3]  Elvi Sukriyah, Sapri Sapri, dan Makmur Syukri, “Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Bagi Remaja di Lingkungan Keluarga di Kota Subulussalam,” Jurnal Educatio (Jurnal Pendidikan Indonesia) Vol. 10, No. 1 (2024): 48–63

[4] Maya Puspitasari, Kerjasama dalam Lembaga Pendidikan Berdasarkan Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 2, Learning: Jurnal Inovasi Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 2, No. 3, Agustus 2022, hlm.1

[5] KH. M. Fathoni Dimyathi, Lc., Kajian Ramadan: Orang yang Beriman Itu Menyenangkan, disampaikan di Aula asrama Darul Qur’an, 11 Maret 2025.

 

[6] Taufik Nugroho, Ahmad Zain Sarnoto, and Siti Maria Ulfa, “Intelegensi Sosial Dalam Perspektif Quran,” ASAS WA TANDHIM: Jurnal Hukum, Pendidikan & Sosial Keagamaan 1, no. 1 (2022): 61-76.

Share this post
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Pinterest
Komentar

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Post comment